Wednesday, January 2, 2008

9. KOMUNIKASI ANTAR LEBAH MADU




Komunikasi antar lebah madu ditemukan oleh ahli zoology dari Jerman: Karl von Frisch. Bahwa lebah pemandu mempertunjukkan tarian sebentar di permukaan vertical sisirnya setelah menyimpan muatan nectar. Diduga tarian ini untuk menstimulasi lebah pencari makanan, sehingga mereka segera mulai meninggalkan sarangnya dan terbang ke sumber makanan. Kalau sumber makanan itu dekat dengan sarangnya (kurang dari 75 m), lebah pemandu menarikan tarian keliling. Bila makanan jauh dari sarangnya maka lebah madu melakukan tarian goyang ekor. Kecepatan tariannya menunjukkan seberapa jauh makanan itu, dan arah bagian lurus menunjukkan arahnya.

10. PERILAKU MEMPERTAHANKAN WILAYAH



Loxodonta


Cervus elaphus



Wilayah Jelajah (Home Range)
Adalah wilayah yang dikunjungi satwaliar secara tetap karena dapat mensuplai makanan, minum, serta mempunyai fungsi sebagai tempat berlindung atau bersembunyi, tempat tidur dan tempat kawin.
Tempat-tempat minum dan tempat-tempat mencari makanan pada umumnya lebih longgar dipertahankan dalam pemanfaatannya, sehingga satu tempat minum dan tempat makan seringkali dimanfaatkan secara bergantian ataupun bersama-sama.

Teritori
Beberapa spesies mempunyai tempat yang khas dan selalu dipertahankan dengan aktif, misalnya tempat tidur (primata), tempat istirahat (binatang pengerat), tempat bersarang (burung), tempat bercumbu (courtship territories).
Batas-batas teritori ini dikenali dengan jelas oleh pemiliknya, biasanya ditandai dengan urine, feses dan sekresi lainnya. Pertahanan teritori ini dilakukan dengan perilaku yang agresif, misalnya dengan mengeluarkan suara ataupun dengan perlakuan fisik. Pada umumnya lokasi teritori lebih sempit daripada wilayah jelajah.
Batas wilayah jelajah dan teritori kadang-kadang tidak jelas, misalnya terjadi pada beberapa primata, seperti Trachypithecus, Gorilla, Pan dan berbagai jenis karnivora seperti anjing (Canis lupus). Pada burung batas wilayah jelajah tidak jelas, Elliot Howard menemukan pada burung pipit hanya dipertahankan beberapa jam.
Tetapi ada juga yang jelas batas-batasnya, terutama bagi satwa liar yang mempunyai wilayah jelajah yang tidak tumpang tindih di antara individu atau kelompok individu, seperti dijumpai pada wau-wau (Hylobates), teritori kawin beberapa kelompok Artiodaktila dan pada anjing liar. Kesimpulannya adalah jika individu tidak mempunyai teritori, maka wilayah jelajahnya dapat tumpang tindih. Misalnya terjadi pada kelompok famili rusa merah (Cervus elaphus), Gajah Afrika (Loxodonta), dan kera barbari (Macaca sylvanus).

Untuk mempertahankan teritorinya satwa liar menunjukan perilaku conflict behaviour.
Aktivitasnya dengan menunjukkan aggressive display dan triumph ceremony (pada angsa).
Luas wilayah jelajah semakin luas sesuai dengan ukuran tubuh satwa liar baik dari golongan herbivora maupun karnivora. Wilayah jelajah juga bervariasi sesuai dengan keadaan sumber daya lingkungannya, semakin baik kondisi lingkungannya semakin sempit ukuran wilayah jelajahnya. Selain itu wilayah jelajah juga dapat ditentukan oleh aktivitas hubungan kelamin, biasanya wilayah jelajah semakin luas pada musim reproduksi.

Untuk mengetahui luas wilayah jelajah satwaliar diperlukan penelitian yang berulang-ulang dalam waktu yang cukup lama.
Berdasarkan hasil penelitian Douglas-Hamilton di TN Lake Manyara (Afrika), yang dilakukan lebih dari 15.000 ulangan untuk 48 unit keluarga gajah dan 80 ekor jantan soliter, mendapatkan luas wilayah jelajah yang bervariasi antara 14-52 km2. Luas ini mungkin terlalu kecil jika dibandingkan dengan ukuran tubuh gajah yang besar.
Penelitian Leuthold dan Sale di TN Tsavo, Kenya mendapatkan angka wilayah jelajah rata-rata dari 4 ekor gajah sekitar 350 km2.
Olivier di Malaysia wilayah jelajahnya antara 32,4-166,9 km2.
Wilayah jelajah unit-unit keluarga gajah di hutan-hutan primer mempunyai ukuran luas dua kali dari wilayah jelajah di hutan-hutan sekunder. Perbedaan ini tentunya disebabkan karena adanya perbedaan produktivitas makanan pada kedua kondisi hutan yang berbeda.
Ukuran wilayah jelajah bagi jenis primata ditentukan oleh 2 faktor utama, yaitu jarak perjalanan yang ditempuh setiap hari oleh setiap anggota kelompok, dan pemencaran dari kelompoknya. Ukuran wilayah jelajah dari siamang, wau-wau lar dan wau-wau agile berbeda, lihat table di bawah.


Whitten menunjukkan bahwa faktor persaingan dan aktivitas manusia dapat berpengaruh terhadap luas wilayah jelajah bilou (Hylobates klossii).
Menurut Van Schaik penggunaan wilayah jelajah kera ekor panjang di Ketambe (TN. G. Leuser), ada beberapa faktor ekologis yang potensial mempengaruhi penggunaan wilayah jelajah, baik ditinjau dari pengaruh jangka panjang maupun jangka pendek. Pola penggunaan jangka panjang pada umumnya disesuaikan dengan pemanfaatan buah, sedang pencarian serangga disesuaikan dengan keadaannya yang menguntungkan. Penyimpangan dari pola ini dapat saja terjadi karena berbagai faktor, seperti adanya lereng-lereng terjal, dan wilayah yang tumpang tindih dengan kelompok lainnya. Kera ekor panjang menghindari lereng-lereng terjal, terutama untuk menghindari resiko adanya pemangsa dan untuk menghemat tenaga. Wilayah yang tumpang tindih dengan kelompok tetangga juga dihindari, sehingga tidak terjadi pertemuan dengan kelompok lainnya.
Pergerakan adalah usaha individu ataupun populasi untuk mendapatkan sumberdaya yang diperlukan agar dapat bertahan hidup dan menurunkan keturunan sesuai dengan tetuanya. Ada berbagai cara pergerakan, pada umumnya dapat dibedakan kedalam: invasi, pemencaran , nomaden dan migrasi. Pergerakan ini dilakukan di wilayah jelajahnya, yang luasnya bervariasi, tergantung pada jenis satwaliar, serta kualitas dan kuantitas habitatnya. Di dalam wilayah jelajahnya, ada suatu tempat yang dipertahankan secara intensif, disebut teritori, seperti tempat bersarang atapun tempat makan. Pada kondisi habitat yang kaya akan sumberdaya yang diperlukan satwaliar, ukuran teritori mereka lebih sempit (kecil) jika dibandingkan dengan habitat yang miskin.

Tuesday, January 1, 2008

11. Perilaku Pergerakan Hewan



Pergerakan adalah suatu strategi dari individu ataupun populasi untuk menyesuaikan dan memanfaatkan keadaan lingkungannya agar dapat hidup dan berkembang biak secara normal. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi pergerakan, baik yang berasal dari dalam maupun luar. Pergerakan hewan (satwa liar) merupakan suatu perilaku, sehingga mempunyai pola-pola tertentu sesuai dengan jenisnya.
Pergerakan hewan baik dalam skala sempit maupun luas merupakan usaha untuk memenuhi tuntutan hidupnya. Pergerakan ini erat hubungannya dengan sifat individu dan kondisi lingkungannya seperti ketersediaan makanan, fasilitas untuk berkembang biak, pemangsaan, kondisi cuaca, sumber air maupun adanya perusakan lingkungan. Mereka bergerak untuk mencari makan, mencari air, dan untuk berkembang biak ataupun menghindarkan diri dari pemangsaan dan gangguan lainnya. Greenwood dan Swingland (1983) menekankan pada adanya faktor yang membatasi pergerakan hewan, yaitu makanan dan pemangsa, dan khusus bagi hewan ektotermal, temperatur sangat membatasi pergerakannya daripada faktor-faktor lainnya. Untuk primata, pergerakan di dalam wilayah jelajahnya sangat ditentukan oleh sumberdaya makanan, pohon-pohon yang dipergunakan sebagai tempat tidur dan pohon-pohon yang dipergunakan sebagai tempat bernyanyi (Whitten, 1982).
Pergerakan populasi secara alam pada saat ini banyak terganggu karena adanya aktivitas manusia, terutama yang telah mengubah habitat mereka menjadi lebih sempit. Pergerakan hewan baik yang dilakukan secara soliter maupun dalam kelompok sangat menentukan prospek kelestarian mereka. Sesuai dengan tujuan, faktor penyebab dan prosesnya, pergerakan hewan dapat digolongkan menjadi: (1) invasi dan pemencaran, (2) nomad dan (3) migrasi.



Invasi dan pemencaran
Invasi dan pemencaran merupakan tipe pergerakan populasi yang dilakukan secara perlahan-lahan terutama untuk menyesuaikan diri dengan keadan iklim ataupun perubahan lingkungannya. Pergerakan ini dapat memperluas daerah penyebaran hewan. Untuk menjamin berhasilnya invasi dan pemencaran diperlukan suatu koridor yang dapat menghubungkan pusat-pusat pertumbuhan dan perkembangan populasi. Koridor yang paling efektif untuk menunjang proses invasi dan pemencaran adalah hutan. Jika koridor-koridor ini terputus, akan terputus pula kesinambungan proses invasi dan pemencaran. Sebagai akibatnya, kemungkinan besar akan terjadi peledakan populasi, ataupun sebagaian individu atau populasinya akan mencari jalannya sendiri-sendiri sehingga seringkali menimbulkan gangguan ke sekitarnya.
Pergerakan mamalia besar dari daratan utama Asia ke Subwilayah Sunda 18.000 tahun yang lalu, berlangsung pada saat terjadinya penggumpalan es sehingga permukaan air laut turun 85 m dari keadaanya sekarang. Pada saat itu muncul Paparan Sunda yang menghubungkan P. Jawa, P. Sumatera, P. Kalimantan dan Semenanjung Malaysia. Berbagai jenis hewan terutama herbivora melakukan penyesuaian dengan cara bergerak secara perlahan-lahan dari utara ke selatan (dari daratan Asia menuju wilayah khatulistiwa mengikuti pola pertumbuhan daratan baru yang mampu menyediakan makanan. Anwar dkk (1984) menyatakan bahwa keadaan permukaan laut yang dangkal serta suhu yang lebih dingin pada masa itu menyebabkan beberapa jenis hewan seperti kambing hutan (Capricornis sumatrensis) dan tumbuhan yang sekarang hanya dijumpai pada wilayah pegunungan, dapat menyeberang ke Sumatra dari daratan Asia.

Invasi dan pemencaran juga dapat terjadi karena adanya pengaruh dari organisme lain, misalnya penyebaran burung kuntul kerbau (Bubulcus ibis) mengikuti pergerakan dan penyebaran jenis mamalia herbivora. Burung-burung ini sering hinggap di atas punggung herbivora sambil memakan serangga. Pada awalnya, kuntul kerbau merupakan burung yang hanya di jumpai di Afrika dan Eurasia. Sejak tahun 1877 jenis ini dijumpai di Suriname. Kedatangan kuntul kerbu ini diduga oleh para ahli melalui tiga cara, yaitu secara alamiah, dirangsang oleh adanya penerbangan pesawat-pesawat transatlantic, ataupun gabungan keduanya. Hingga saat ini pergerakan transatlantic burung-burung juga dijumpai pada jenis yang lain, seperti Egretta garzetta (Anderson, 1985).
Jenis cangak abu Florida (Bubulcus caerula), semula hanya dikenal di bagian timur Amerika Serikat, Meksiko dan Amerika Selatan, sekarang dapat dijumpai di bagian barat Amerika Utara. Burung jalak (Sturnus vulgaris) yang berasal dari Amerika Utara, pada taun 1890 dilepaskan 60 ekor di beberapa kota di New York, berhasil berkembang biak dan dalam beberapa tahun kemudian mereka melakukan emigrasi (Orr, 1970). Kelangsungan hidup burung-burung setelah dilepaskan selain tergantung pada jumlahnya juga ditentukan pula oleh kondisi lingkungan yang cocok. Pelepasan berbagai jenis burung endemic yang populasinya sudah menurun akan berpengaruh terhadap kelestarian burung-burung yang bersangkutan. Secara tidak sengaja burung-burung yang lepas dari sangkar peliharaan juga dapat membantu penyebaran jenis yang bersangkutan, akan tetapi tingkat ketahanan hidup mereka di alam sangat rendah.
Banteng (Bos javanicus) di Indonesia secara alam hanya dijumpai di P. Jawa dan P. Kalimantan; di P. Sumatra jenis ini sudah punah. Pada saat ini banteng juga terdapat di TN. Bali Barat. Perembesan banteng terutama dari Jawa ke Bali terjadi sejak zaman kerajaan Hindu, melalui tukar menukar hadiah atau cenderamata. Bahkan banteng liar sampai saat ini sudah berhasil dibudidayakan menjadi ternak yang kita kenal sebagai sapi Bali (Bos sondaicus)(Alikodra, 1978,1983). Sapi Bali sudah tersebar secara luas di seluruh kepulauan Indonesia, bahkan pada saat ini banyak terdapat di daratan Australia. Secara tradisional pergerakan jenis herbivora seperti banteng dan rusa, juga seringkali mengikuti pola pergerakan manusia, karena pola perladangan berpindah dan pembakaran hutan dapat merangsang pertumbuhan rumput muda yang sangat dipilih herbivora. Berarti jenis-jenis ini tidak dapat menghendaki hutan yang keadaannya tertutup rapat.
Proses invasi dan pemencaran hewan dapat juga disebut sebagai proses perembesan. Proses perembesan dari pusat penyebarannya keluar juga dapat terjadi karena adanya rangsangan dari kondisi di luar yang lebih baik. Perembesan hewan ini seringkali menjadi masalah yang rumit karena dapat merusak tanaman perkebunan, misalnya adanya perembesan banteng dari Cagar Alam Leuweung Sancang (Jawa Barat) ke perkebunan kelapa hibrida di sekitarnya, ataupun perembesan gajah Sumatra dari hutan-hutan ke wilayah perkebunan kelapa sawit, tebu dan perkebunan karet serta tnaman penduduk.
Beberapa jenis mamalia Subwilayah Sunda, dahulu lebih menyebar luas dibandingkan dengan keadaan sekarang. Hal ini mungkin disebabkan oleh terputusnya hubungan lahan akibat genangan air yang menghalangi rekolonisasi pulau sehingga menyebabkan kepunahan jenis-jens tertentu. Di samping itu laju kepunahan hewan di wilayah penyebarannya juga banyak dipengaruhi oleh aktivitas manusia. Di antaranya ada beberapa jenis mamalia di Jawa, Sumatera dan Kalimantan yang telah mengalami kepunahan (lihat table di awah).



Jenis-jenis mamalia yang sudah punah (O) dan yang masih ada (X)
di Subwilayah Sunda










Aktivitas-aktivitas manusia yang telah menyebabkan terdesak bahkan punahnya beberapa jenis hewan adalah: pemburuan atau penangkapan, perusakan habitat, konversi hutan, dan pencemaran, lingkungan. Nampak bahwa faktor manusia memegang peranan penting, sehingga perlu dilakukan pendekatan-pendekatan agar orang mengerti dan sekaligus berperanan penting, sehingga perlu dilakukan pendekatan-pendekatan agar orang mengerti dan sekaligus berperanan aktif dalam melakukan upaya konservasi hewan.
Invasi dan pemencaran hewan dapat terjadi baik pada jarak yang dekat maupun jauh. Invasi local dapat terjadi untuk beberapa jenis, karena adanya perubahan kondisi makanan ataupun keadan lingkungan yang kurang baik, sehingga menyebabkan jenis-jenis tertentu meninggalkan tempat asalnya untuk mencari wilayah-wilayah yang lebih menguntungkan bagi kehidupannya. Dari uraian-uraian sebelumnya dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa disamping faktor-faktor alam, faktor manusia beserta teknologinya juga mempunyai pengaruh yang besar terhadap invasi dan pemencaran hewan. Proses invasi dan pemencaran tersebut banyak dilakukan oleh individu-individu yang masih muda yang dikenal sebagai dipersal of the young. Tingkat keberhasilan proses ini banyak ditentukan oleh sifat-ifat individu muda dalam proses belajar mengenal lingkungannya. Jika suatu saat individu-individu muda mendapatkan tempat yang cocok, ataupun pasangan yang cocok, mereka dapat memutuskan untuk tidak kembali ke tempat asalnya. Pola ini merupakan proses pembentukan wilayah jelajah (home range) maupun tempat-tempat yang dikontrol dan dipertahankan secara aktif (territory). Dengan demikian invasi dan pemencaran sangat besar peranannya sebagai langkah awal dalam pembinaan individu-individu untuk membentuk populas yang tangguh.
Pergerakan invasi dan pemencaran semakin meningkat intensitasnya di pusat-pusat penyebarannya, karena di pusat-pusat penyebarannya itu kepadatan populasi hewan lebih tinggi daripada di wilayah-wilayah sekitarnya. Populasi herbivora seperti banteng (Bos javanicus) di Ujung Kulon maupun Suaka Margasatwa Blambangan Purwo berpusat di padang rumput, semakin jauh dari padang rumput akan semakin sedikit dijumpai banteng. Sedang populasi bekantan (Nasalis larvatus) di Kalimantan, berpusat di hutan mangrove di tepi sungai; semakin jauh dari tepi sungai akan semakin sulit dijumpai bekantan. Penyebaran burung kokokan (Bubulcus ibis) di Ubud di desa Petulu, semakin dekat dengan Petulu semakin sering dijumpai kokokan.

Nomad
Pola pergerakan populasi lainnya adalah nomad, yaitu pergerakan individu ataupun populasi yang tidak tetap dan sulit untuk dikenali secara pasti. Mereka bergerak untuk mendapatkan makanan dan tidak harus kembali ke wilayah asalnya.
Beberapa jenis antelope Afrika selalu melakukan pergerakan nomad, dan beberapa antelope lainnya melakukan migrasi, yaitu pergerakan yang dlakukan dengan arah dan rute yang tetap mengikuti kondisi lingkungan yang mendukung kehidupannya pada musim kering, dan kemudian kembali ke wilayah asalnya ketika tiba musim hujan. Pergerakan banteng tua soliter yang dijumpai di TN. Ujung Kulon merupakan contoh pergerakan nomad (Alikodra, 1983). Banteng soliter nomad ini bergerak tanpa arah yang tetap, sampai akhirnya menemui kematiannya, baik disebabkan oleh alam (terperosok ke dalam jurang, terbawa arus air, tertimpa pohon, dimakan pemangsa, dan mati karena sakit) ataupun diburu oleh manusia.
Terjadinya hewan nomad ini juga disebabkan karena perubahan ataupun perusakan habitatnya, misalnya karena penebangan pohon, kebakaran hutan. MacKinnon (1975) menjumpai adanya mawas nomad di Kalimantan Timur di daerah eksploitasi hutan. Di satu pihak pola nomad seperti pada banteng tua sangat bermanfaat bagi penjarangan individu-individu anggota populasi, dan dilain pihak adanya hewan nomad dapatmemberikan indicator rusaknya habitat.

Migrasi
Migration is the most commonly known type of oriented animal movement. Migrants generally make an annual round trip between two regions (e.g. birds, whales, some butterflies, some pelagic fish).
Migration = The seasonal movement of animals over relatifly long distances.
Migrating animals use three mechanisms: piloting, orientation and navigation.
Piloting = Movement of animals from one landmark to another.
This behaviour is used over short distances, and is not useful at night or over the ocean.
Orientation = Movement of animals along a compass line.
Animals that use orientation can detect compass directions and travel in a straight line to a destination.
Navigation = The ability of animals who can orient along compass lines to determine their location in relation to their destination.
Migrant starlings captured in the Netherlands were released in Switzerland. Juvenile birds oriented in a straight-line to Spain. Adults navigated a new route to their wintering grounds in northern Europe. Many birds use celestial points for orientation and navigation. These animals need an internal clock to compensate for the movement of the sun and stars. The indigo bunting avoids the need for an internal clock by fixing on the north star. Some birds, bees and bacteria orient to the Earth's magnetic field. The mechanisms are poorly known, but magnetite, an iron-containing ore, has been found in animals that orient to the magnetic field.





Secara umum penyebab terjadinya migrasi dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu alimental, gametik dan klimatik.

Alimental
Alimental adalah kegiatan makhluk hidup untuk mendapatkan makanan atau bahan-bahan untuk pertumbuhan. Jadi manfaat alimental dari migrasi untuk beberapa jenis hewan adalah terhadap mekanisme untuk menemukan dukungan makanan yang cukup sepanjang tahun. Pergerakan berbagai jenis ikan ke wilayah perkembangbiakannya disebut gametik. Tetapi setelah aktivitas reproduksinya selesai, pergerakan migrasi mereka ke wilayah yang dapat menyediakan makanannya termasuk dalam kategori alimental.
Pergerakan alimental juga dilakukan oleh penyu, setelah mereka selesai meletakkan telurnya di dalam lubang-lubang di pantai yang berpasir (gametik), mereka kembali bermigrasi ke laut lepas untuk mendapatkan makanan (alimental). Burung-burung wader (burung berkaki panjang) pada waktu musim dingin di belahan bui utara bermigrasi ke wilayah tropis untuk mendapatkan makanan dan perlindungan dari kondisi iklim yang jelek. Pergerakan musiman beberapa herbivora besar mempunyai otivasi utama untuk memenuhi keperluannya akan makanan.
Migrasi yang dilakukan oleh beberapa caribou (Rangifer tarandus) sejenis rusa di Alaska sampai mencapai ratusan kilometer bertujuan untuk mendapatkan makanan yang cukup selama musim dingin. Pergerakan wildebeest (Gorgon taurinus), salah satu jenis rusa di wilayah Serengeti yang jumlahnya sampai ribuan ekor, merupakan migrasi tetap menuju wilayah yang subur akan makanan dan air. Pada saat musim hujan tiba mereka kembali ke wilayah asalnya bersama anak-anaknya. Dalam perjalanan kembali ini mereka harus melewati sungai-sungai yang besar dengan air yang melimpah, sehingga banyak diantara anggotanya yang mati tenggelam ataupun dimakan oleh pemangsa yang bermukim di sungai seperti buaya. Pengurangan populasi secara alami ini merupakan proses seleksi alam yang sangat penting artinya bagi kualitas struktur populasi.

Gametik
Ada beberapa jenis organisme yang melakukan pergerakan dengan tujuan bukan untk mencari makan ataupun air, tetapi untuk mendapatkan wilayah yang cocok bagi kepentingan perkembangbiakan. Rangsangan pergerakan seperti ini termasuk ke dalam kategori gametik. Misalnya pergerakan beberapa jenis ikan untuk mendapatkan lokasi yang cocok untuk bertelur. Pergerakan kembali ikan salmon (Oncorhynchus spp.) dari daerah penetasan di perairan tawar ke daerah perairan laut merupakan migrasi alimental, karena system perairan sungai tidak mampu menyediakan makanan yang cukup. Setelah menetap beberapa tahun di wilayah lautan, mereka kembali lagi ke wilayah perairan tawar (aliran sungai) untuk kepentingan perkembangbiakan; pergerakan ini termasuk dalam kategori gametik.

Klimatik
Pada umumnya sangat sulit bahkan tidak mungkin untuk memisahkan faktor iklim dari alimental dan gametik pada kegiatan migrasi hewan. Produksi makanan sangat tergantung pada keadaan iklim lingkungannya. Jika kondisi iklimnya mendukung produktivitas habitatnya sehingga persediaan makanan menjadi berlimpah, akan diikuti dengan kegiatan perkembangbiakan. Pada saat terjadi musim dingin di wilayah Arktika, kondisi lingkungannya tidak cocok untuk kehidupan berbagai jenis organisme karena tidak adanya makanan. Keadaan ini menyebabkan berkembangnya pola migrasi berbagai jenis hewan yang berasal dari wilayah dingin.
Beberapa jenis invertebrate, terutama serangga memecahkan masalahnya pada musim dingin dengan melakukan keadaan dorman, yaitu pola adaptasi suatu organisme untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungannya dengan cara diam dan tidak melakukan segala kegiatan. Keadaan dorman ini juga dilakukan oleh beberapa jenis amfibi, reptilia dan beberapa jenis mammalia. Bahkan telah diketahui tentang adanya satu jenis burung yang pada musim dingin melakukan keadaan dorman, yaitu poorwill (Phalaenoptilus nuttalii) sejenis burung cabak.
Persediaan energi juga terdapat pada tubuh beberapa jenis vertebrata berdarah panas, sehingga mampu bertahan dalam waktu yang pendek untuk mengatasi kekurangan makanan, seperti dilakukan oleh beberapa jenis binatang pengerat dan beberapa spesies burung. Beberapa spesies burung wader seperti trinil kaki-merah (Tringa totanus), trinil kaki-hijau (T. nebularia), trinil semak (T. glareola), dan cerek (Pluvialis dominica), mampu beradaptasi dan bertahan hidup pada kondisi makanan yang sangat jelek dan minim selama 15 hari. Mungkin karena memiliki sifat ketahanan yang sangat tinggi terhadap lingkungan yang jelek, menyebabkan beberapa spesies wader yang melakukan migrasi mampu terbang menempuh jarak puluhan ribu kilometer. Berbagai jenis organisme yang dapat bertahan dalam keadaan dingin dengan jumlah makanan yang terbatas. Ada jenis ikan yang masih dapat hidup dan beradaptasi pada wilayah perairan yang tertutup gumpalan es.
Pergerakan migrasi harus dibedakan dari pergerakan invasi dan pemencaran maupun nomad, karena migrasi merupakan pergerakan periodic hewan menuju ke suatu wilayah dan sebaliknya. Seperti halnya dengan angka kelahiran dan kematian, maka migrasi sangat berpengaruh terhadap kepadatan populasi. Pergerakan migrasi keluar disebut emigrasi dan sebaliknya pergerakan kembali memasuki wilayah asalnya disebut imigrasi. Migrasi juga dapat dibedakan ke dalam migrasi musiman, migrasi harian dan migrasi perubahan bentuk.

Migrasi musiman
Migrasi musiman adalah kegiatan migrasi yang disebabkan oleh perubahan iklim. Migrasi ini dapat dilakukan menurut garis lintang, ketinggian tempat maupun secara local.
Migrasi menurut garis lintang dapat terjadi dari mulai hanya beberapa kilometer sampai mencapai puluhan ribu kilometer. Tipe migrasi ini dilakukan oleh burung, ikan ataupun mamalia darat. Pada sekelompok burung yang melakukan migrasi, biasa dijumpai jenis pendatang tetap (permanent residents), jenis yang menetap selama musim panas (summer residents), biasanya pada musim berkembang biak, dan jenis yang berkunjung selama musim dingin (winter visitors) atau bukan musim perkembangbiakan. Ada pula jenis yang datang hanya sebentar dalam periode musim migrasi dan tidak melakukan perkembangbiakan (transient), ataupun jenis yang langka dan tidak teratur dijumpainya (accidentals).


Burung-burung di wilayah dingin di bagian Benua Antartika populasinya meningkat, bukan saja karena adanya jenis yang datang secara tetap, tetapi juga karena individu-individu berkembang di wilayah utara pada musim berkembang biak dan kembali ke wilayah selatan dalam jumlah yang lebih besar dari semula. Migrasi dari jenis burung trinil pantai (Tringa hypoleucos) yang berasal dari wilayah Asia utara yang sedang mengalami musim dingin, bergerak menuju ke Australia yang sedang mengalami musim panas. Dalam perjalanannya, mereka mencari makan di wilayah pantai, sawah-sawah dan rawa-rawa dekat pantai. Makanannya terdiri dari moluska, cacing dan serangga air. Burung-burung trinil ini akan kembali ke wilayah utara untuk berkembang biak di musim panas.
Burung air juga lebih umum terdapat di Sulawesi daripada di bagian barat Indonesia, mungkin karena Sulawesi terletak lebih dekat dengan jalur migrasi mereka. Pada umumnya burung-burung besar seperti bangau, belekok dan kuntul terlihat di sepanjang pantai, tetapi undan Australia (Pelecanus conspicillatus) biasanya lebih dijumpai didekat danau-danau.
Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya migrasi pada burung, dan faktor tersebut sangat bervariasi tergantung pada jenis burungnya. Jenis burung di perairan Benua Amerika harus segera meninggalkan wilayah dibagian utara sebelum makanan mereka berkurang ataupun hilang karena pembekuan danau dan sungai-sungai. Jens burung pemakan serangga yang tidak mampu untuk mengubah jenis makanan serangga ke jenis makanan yang lainnya, harus bermigrasi sebelum serangga tersebut mengalami hibernasi atau bermigrasi. Adanya kenaikan temperatur juga dapat menyebabkan beberapa jenis burung melakukan migrasi. Terjadinya migrasi burung kea rah utara dalam musim semi di Benua Amerika bertujuan untuk menghindakan temperatur yang tinggi pada waktu musim panas di wilayah selatan.
Mekanisme migrasi telah banyak diteliti, baik melalui pola-pola bintang maupun medan magnit bumi yang memungkinkan burung-burung untuk terbang kearah yang tepat. Pengetahuan burung tentang migrasi sebagian dibawa sejak lahir (genetic), akan tetapi burung-burung muda sering membuat kesalahan arah dan jarak. Migrasi sangat berbahaya bagi burung-burung muda karena belum memiliki pengalaman mengenai arah tujuan, padahal burung-burung tersebut harus menemukan lokasi yang cocok untuk mendapatkan makanan yang jumlahnya cukup guna menimbun lemak, agar tahan dalam perjalanan pulang kembali pada waktu yang tepat.
Pergerakan secara besar-besaran juga dapat terjadi untuk jenis yang jumlah anggotanya banyak, pada saat keadaan lingkungannya mengalami perubahan menjadi kritis, misalnya menyebabkan kekurangan persediaan makanan. Pada kondisi seperti ini mereka akan bergerak menuju wilayah yang cocok untuk memenuhi keperluan hidupnya. Pergerakan ini bila dilakukan secara teratur disebut migrasi, dan bila dilakukan dengan cara yang tidak teratur disebut nomad. Pergerakan hewan secara teratur di TN. Serengeti dimanfaatkan sebagai atraksi alam yang banyak diminati wisatawan karena membentuk pemandangan ataupun fenomena alam yang khas dan unik. Setiap bulan Mei – Juni rombongan wildebeest dan zebra bergerak dari dataran rumput yangtidak ada kayu-kayunya di sebelah timur menuju ke tempat yang berair di koridor barat di tepi danau Victoria. Pawai Bos javanicushewan ini panjangnya mencapai 7-10 km. Keunikan proses ini adalah karena terjadinya seleksi alam, hewan yang telah tua dan sakit tertinggal di belakang barisan dan biasanya akan dimangsa oleh pemangsa.
Migrasi menurut ketinggian tempat merupakan pergerakan hewan yang meliputi beberapa kilometer naik-turun gunung. Biasanya terjadi dalam hubungannya dengan kondisi salju, temperatur ataupun makanan. Migrasi semacam ini juga dapat dijumpai di kawasan TN. Bali Barat ataupun TN. Baluran. Pada waktu musim kemarau, jumlah makanan rusa (Cervus timorensis) di hutan musim sangat terbatas. Kekurangan makanan ini menyebaban terjadinya vegetasi selalu hijau sepanjang tahun. Di TN. Baluran dalam musim kemarau juga terjadi pergeseran wilayah pergerakan banteng dibandingkan dengan musim penghujan, terutama untuk menyesuaikan dengan keadaan makanan dan air yaitu dari wilayah yang rendah ke daerah yang lebih tinggi. Menurut MacKinnon terdapat migrasi musiman pada mawas (orangutan) dari wilayah berbukit-bukit ke wilayah dataran rendah.
Migrasi secara local terjadi pada lokasi yang tidak begitu luas, dan erat hubungannya dengan kondisi sumber air, makanan, serta pelindung. Migrasi secara local ini juga dilakukan oleh burung, ikan dan mamalia darat. Pada waktu musim kemarau populasi banteng di TN. Bali Barat bergerak dari wilayah Batugondang menuju sumber air di wilayah Tegal Bunder Timur (Alikodra, 1983). Pola migrasi hewan ini hanya dapat diketahui dengan cara melakukan penelitian lapangan dalam waktu yang cukup lama.
Van Noordwijk dalam penelitiannya selama 3 tahun terhadap social-ekologi kera ekor panjang (Macaca fascicularis) di Ketambe TN. Gunung Leuser, menemukan adanya 52 ekor kera jantan migrant.






Pola migrasi tersebut dilakukan melalui:
Imigrasi kera jantan muda, yang lebih sering terjadi bila dibandingkan denga kera jantan tua. Imigrasi ini lebih sering terjadi ke dalam grup lain yang jauh letaknya.
Imigrasi kera jantan muda, yang dlakukannya bersama-sama dengan grup yang berpasang-pasangan. Imigrasi ini lebih sering terjadi pada kera jantan muda daripada kear jantan tua.
Dua tipe kera migrant tersebut masing-masing disebut imigrasi unobtrusive dan bluff. Imigran unobtrusive yang masuk ke dalam grup baru mempunyai hirarkhi kekuaaan yang rendah dari semua golongan umur. Sedang imigran bluff mencoba untuk mengambil alih kekuasaan tertinggi di antara semua kera golongan dewasa dalam grup yang dimasukinya. Pengambilan alih kekuasaan juga terjadi di antara kera-kera jantan muda setempat, terutama untuk meningkatkan kedewasaan mereka. Perilaku kera-kera jantan muda setempat ini hampir sama dengan imigran bluff, akan tetapi mereka lebih berhasil daripada imigran bluff.

Migrasi harian
Migrasi harian disebut juga pergerakan harian, karena berbagai jenis hewan dalam jangka waktu 24 jam melakukan pergerakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Hampir semua makhluk hidup melakukan kegiatan harian, mereka mempunyai tempat-tempat yang jelas untk tempat tidur, berlindung, mencari makanan dan air, dan tempat berkembang biak. Jenis burung air yang paling menonjol dalam melakukan pergerakan harian di P. Rambut adalah pecuk padi (Phalacrocorax pygmaeus), yang tidur dan bersarang di hutan P. rambut dan pada waktu pagi maupun siang hari mencari makanan di perairan rawa, sungai, ataupun tambak di P. Jawa. Pergerakan harian ini berlangsung dalam watu 24 jam dengan ritme teratur yang disebut ritme harian.
Setiap jenis mempunyai pergerakan harian dengan pola dan jangkauan wilayah yang berbeda-beda. Sehingga luas wilayah untuk pergerakan harian juga berbeda-beda, tergantung pada jenis hewan dan keadaan lingkungannya. Ada beberapa jenis yang tinggal dan berkembang biak disuatu pulau dan mencari makanan di pulau yang lain yang terdekat, seperti yang dilakukan oleh burung-burung air yang hidup di P. Rambut. Sebaliknya kalong (Pteropus vampirus) yang hidup di P.Rambut , setelah matahari terbenam terbang menuju ke P. Jawa untuk mencari buah-buahan, dan kembali ke P.Rambut menjelang matahari terbit. Kegiatan ini dilakukan secara rutin setiap hari, terbang bersamaan dalam jumlah banyak, sehingga merupakan obyek yang sangat menarik, baik untuk penelitian maupun wisata. Namun dipihak lain, kalong dan burung pemakan ikan itu, oleh masyarakat pemilik kebun buah-buahan dan pemilik tambak dianggap sebagai hama.
Pola pergerakan harian juga datat dipelajari pada larva-larva Charborus (serangga air); mereka meletakkan diri di dasar perairan selama siang hari dan kembali menuju ke permukaan air pada malam hari. Kelompok ikan salmon melakukan pergerakan harian yang dapat disebut sebagai migrasi vertical. Selama siang hari mereka tinggal di perairan dalam yang temperaturnya lebih dingin (5-10ºC) daripada temperatur di permukaan air. Pada waktu senja, mereka bergerak menuju ke permukaan air untuk mendapatkan makanannya dengan cara tinggal di permukaan air selama malam hari sambil mencari temperatur yang cocok (15ºC). Jenis ikan salmon termasuk golongan ektotermal, yaitu organisme yang laju pertumbuhannya sangat tergantung pada keadaan temperatur. Ikan salmon memerlukan temperatur maksimum bagi kehidupannya, yaitu pada 15ºC. Kelompok ikan salmon ini menghendaki laju pertumbuhan yang tinggi, untuk mendapatkan hasil reproduki yang maksimum dan meningkatkan daya hidupnya.

Migrasi perbahan bentuk
Untuk serangga yang mempunyai beberapa tingkat kehidupan (telur-larva-stadium dewasa), terjadinya perpindahan lokasi relung adalah untuk menyesuaikan dengan keadaan bentuk tingkat kehidupannya. Perpindahan organisme semacam ini dapat dianggap sebagai kegiatan migrasi. Misalnya ada beberapa jenis serangga yang larvanya hidup di air, setelah dewasa akan terbang sebentar ke udara dan meletakkan kembali telurnya di air. Migrasi perubahn bentuk juga dapat dilihat pada siklus hidup Fasciola dan Paramphistomum.
Proses migrasi hewan sangat rumit, dan terjadi karena adanya interaksi antara ritme fisiologis (internal stimulant) dari organisme yang bersangkutan dengan kondisi lingkungan yang kritis (external stimulant). Untuk kepentingan pelestarian populasi diperlukan antara lain informasi tentang migrasi, termasuk pergerakan hariannya, sebagai data dasar untuk kepentingan penyusunan program pengelolaan.











DAFTAR PUSTAKA

Alikodra,H.S. 1990. Pengelolaan Satwaliar. Jilid I. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Bligh, J., J.L. Cloudsley-thompson., A.G. Macdonald. 1976. Environmental
Physiology of Animal. Blackwell Scientific Publications. Oxford. London
Campbell,N.A., J.B. Reece, L.G. Mitchell. 2003. Biologi. Edisi V. Jilid III.
Penterjemah: W.Manalu. Penerbit Erlangga. Jakarta.
Dewsbury, D. A. 1978. Comparative Animal Behavior. McGraw-Hill Book Company. New York.
McFarland, D. 1985. Animal Behaviour. Longman Scientific & Technical. Essex England.
Marler, P., W.J. Hamilton III. 1965. Mechanism of Animal Behavior.
John Wiley & Sons. New York.
Matthews, R.W. and J.R. Matthews. 1978. Insect Behavior. John Wiley & Sons. New York.
Maurice and R. Burton. 1977. Inside the Animal World. An encyclopedia of animal behaviour.









Monday, December 31, 2007

1. Pendahuluan

Pengertian
Definisi perilaku pada kamus berupa bertindak, bereaksi atau berfungsi dalam suatu cara tertentu sebagai respon terhadap beberapa rangsangan (stimulus). Banyak perilaku memang terdiri atas aktivitas otot yang dapat diamati secara eksternal, yaitu komponen bertindak dan bereaksi dari definisi tersebut. Perilaku adalah suatu aktivitas yang merupakan reaksi satu sel atau lebih, lebih dari satu organ, bahkan lebih dari satu sistem organ (kecuali jika organisme tersebut terdiri dari 1 sel). Jadi perilaku mencakup seluruh individu dan ditujukan terhadap lingkungan di luar individu. Perilaku disebut juga Etologi (Y: ethos = sifat, kebiasaan) yaitu bekerja di lapangan. Sedangkan Psikologi (Y: psyche = jiwa, semangat) yaitu bekerja di laboratorium.
Ketika kita mengamati perilaku tertentu, kita cenderung untuk menanyakan pertanyaan proksimat (jangka pendek) dan pertanyaan ultimat (akhir). Dalam kajian perilaku hewan, pertanyaan proksimat adalah mekanistik, berkaitan dengan stimulus lingkungan yang memicu suatu perilaku, dan juga mekanisme genetik dan fisiologis yang mendasari suatu tindakan perilaku. Pertanyaan ultimat berkenaan dengan makna evolusioner perilaku. Untuk menekankan perbedaan (dan juga hubungan) antara kausasi proksimat dan ultimat, perhatikan pengamatan Magnolia Warbler, seperti banyak hewan lainnya, kawin pada musim semi dan pada awal musim panas. Dalam artian kausasi proksimat, suatu hipotesis yang masuk akal adalah bahwa perkawinan dipicu oleh pengaruh peningkatan panjang siang hari pada fotoreseptor hewan tersebut. Banyak hewan dapat distimulasi untuk mulai kawin secara eksperimental dengan memperpanjang pemaparan hariannya pada cahaya. Stimulus ini akan mengakibatkan perubahan neural dan hormonal yang menstimulasi perilaku, yang berhubungan dengan reproduksi, seperti berkicau dan pembuatan sarang pada burung.
Magnolia Warbler (Dendroica magnolia)

Berlawanan dengan pertanyaan proksimat, pertanyaan ultimat mengambil bentuk seperti: Kenapa seleksi alam lebih memilih perilaku ini dan bukan perilaku lainnya yang berbeda? Hipotesis yang megajukan pertanyaan “mengapa” mengemukakan bahwa perilaku dapat memaksimalkan kelestarian hidup (fitness) dengan beberapa cara tertentu. Suatu hipotesis yang masuk akal tentang mengapa banyak hewan berreproduksi pada musim semi dan awal musim panas adalah karena pada waktu tersebut perkawinan paling produktif atau adaptif (dapat menyesuaikan diri). Bagi burung pengicau dan banyak burung lainnya, persediaan serangga yang berlimpah pada musim semi menyediakan banyak makanan untuk pertumbuhan keturunannya dengan cepat. Individu yang mencoba kawin pada waktu lain selain musim semi akan mengalami kerugian selektif. Peningkatan panjang siang hari itu sendiri memiliki signifikansi adaptif yang kecil, tetapi karena peningkatan panjang siang hari merupakan indikator yang paling dapat dipercaya mengenai musim dalam satu tahun, telah terjadi seleksi pada mekanisme proksimat yang bergantung pada peningkatan panjang siang hari. Ringkasnya, mekanisme proksimat menghasilkan perilaku yang akhirnya dievolusikan karena mekanisme tersebut meningkatkan kelestarian hidup dengan beberapa cara tertentu. Para ahli biologi perilaku juga menggunakan metode komparatif biologi filogenetik untuk memformulasikan hipotesis mengenai evolusi perilaku. Pohon filogenetik (silsilah) yang didasarkan pada data molekuler, morfologis dan perilaku yang menggambarkan sejarah evolusi yang paling mungkin pada suatu kelompok spesies yang sangat erat hubungannya, memungkinkan para peneliti memperkirakan kapan suatu perilaku tertentu muncul dalam suatu garis keturunan, apakah perilaku tersebut muncul sekali atau secara berulang-ulang, dan jenis perilaku yang mana yang ditemukan pada leluhurnya?

Perilaku dihasilkan oleh gen dan faktor-faktor lingkungan
Ada anggapan bahwa perilaku disebabkan oleh pengaruh gen (nature atau alam) atau oleh pengaruh lingkungan (nurture atau pemeliharaan). Sejauh mana gen dan lingkungan mempengaruhi sifat fenotipik, yang meliputi sifat perilaku? Fenotipe bergantung pada gen dan lingkungan, sifat atau ciri perilaku memiliki komponen genetik dan lingkungan, seperti halnya semua sifat anatomis dan fisiologis seekor hewan.
Seperti ciri fenotipik lainnya, perilaku memperlihatkan suatu kisaran variasi fenotipik (suatu “norma reaksi”) yang bergantung pada lingkungan, di mana genotipe itu diekspresikan. Studi kasus mengenai lovebird (sejenis burung) menujukkan perilaku dengan pengaruh genetik yang kuat. Namun demikian terdapat suatu norma reaksi. Perilaku dapat diubah oleh pengalaman di lingkungan. Pada sisi lainnya, bentuk penyelesaian masalah yang paling berkembang ditandai oleh norma reaksi yang sangat luas. Namun demikian, perilaku juga memiliki suatu komponen genetik, perilaku bergantung pada gen-gen yang ekspresinya menghasilkan sistem neuron yang tanggap terhadap kemajuan pembelajaran. Sebagian besar ciri perilaku adalah filogenetik, dengan norma reaksi yang luas.
Faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi perilaku adalah semua kondisi dimana gen yang mendasari perilaku itu diekspresikan. Hal ini meliputi lingkungan kimiawi di dalam sel, dan juga semua kondisi hormonal dan kondisi kimiawi dan fisik yang dialami oleh seekor hewan yang sedang berkembang di dalam sebuah sel telur atau di dalam rahim. Perilaku juga meliputi interaksi beberapa komponen sistem saraf hewan dengan efektor, dan juga berbagai interaksi kimia, penglihatan, pendengaran, atau sentuhan dengan organisme lain.
Pada percobaan persilangan antara dua spesies yang berkerabat dekat, tetapi mempunyai pola-pola perilaku bawaan yang berlainan. Yaitu pada burung betet Fischer yang menggunakan paruh untuk membawa bahan sarangnya, dengan burung betet dari Afrika yang membawa bahan sarang dengan menyelipkan dalam bulu-bulunya. Pada F1, hanya dapat membawa bahan sarang dengan paruhnya, tetapi burung itu selalu membuat gerakan mencoba menyelipkan bahan pembuat sarang ke dalam bulu-bulunya dulu (lihat gambar di bawah).


Komponen genetik dan lingkungan dari perilaku: suatu studi kasus

(1) Beberapa spesies burung beo Afrika berwarna cerah, yang umum dikenal sebagai lovebird, membangun sarang berbentuk mangkuk di dalam lubang pohon. Betina secara khusus membuat sarang dengan lembaran tipis tumbuh-tumbuhan (atau di laboratorium menggunakan kertas) yang mereka potong dengan paruhnya. Pada satu spesies, lovebird Fisher (Agapornis fischeri), burung tersebut memotong lembaran relatif panjang dan membawa lembaran-lembaran tersebut ke sarangnya satu per satu di dalam paruhnya.
(2) Sebagai pembanding, lovebird bermuka peach (A. roseicollis) memotong lembaran yang lebih pendek dan umumnya membawa beberapa potong sekaligus dengan cara menjepit di dalam bulu pada bagian ekornya. Penjepitan di bulu ekor ini merupakan perilaku yang kompleks, karena potongan-potongan itu harus dipegang dengan tepat dan didorong dengan kuat, kemudian bulu diratakan.
(3) Kedua spesies ini berkerabat dekat dan telah dicoba dikawinsilangkan. Betina hasil persilangan (hybrid) memperlihatkan jenis perilaku membangun sarang yang intermediet (pertengahan). Lembaran yang dipotong oleh burung hybrid panjangnya juga intermediet; bahkan lebih menarik lagi adalah cara burung hybrid menangani potongan itu. Burung hybrid tersebut umumnya membuat beberapa upaya untuk menjepit potongan itu kedalam bulu ekornya, tetapi pada beberapa kasus burung tersebut tidak mau pergi setelah memutar dan mendorong sedikit lembaran-lembaran tersebut. Pada kasus lain, potongan lembaran tersebut dimanipulasikan atau disisipkan secara tidak tepat atau hanya dijatuhkan. Hasilnya adalah kegagalan total dalam pengangkutan potongan bahan pembuat sarang dengan metode ini. Akhirnya, burung itu belajar mengangkut potongan itu dalam paruhnya. Meskipun demikian, burung hybrid tersebut paling tidak selalu melakukan upaya penyelipan secara simbolis.
(4) Setelah beberapa tahun, burung-burung hybrid masih memutar kepalanya ke belakang sebelum terbang membawa potongan bahan pembuat sarang tersebut. Pengamatan ini menunjukkan bahwa perbedaan fenotipik dalam perilaku kedua spesies didasarkan pada perbedaan genotipe. Kita juga dapat melihat bahwa perilaku itu dapat diubah melalui pengalaman; burung hybrid akhirnya belajar mengangkut potongan bahan pembuat sarang tersebut.

Interpretasi
Dalam mengamati perilaku, kita cenderung untuk menempatkan diri kita pada organisme yang kita amati, yakni dengan menganggap bahwa organisme tadi melihat dan merasakan seperti kita. Ini adalah antropomorfisme (Y: anthropos = manusia), yaitu interpretasi perilaku organisme lain seperti perilaku manusia. Semakin kita merasa mengenal suatu organisme, semakin kita menafsirkan perilaku tersebut secara antropomorfik. Karena itu sedapat mungkin kita jangan membahas kegiatan suatu organisme dengan bahasa manusia, ini adalah sulit! Akibatnya bahasa ahli perilaku itu terasa aneh dan janggal bagi manusia.

Kesulitan yang lain
Misalnya antara manusia dengan anjing. Manusia hidup dalam dunia yang terutama berdasar penglihatan. Dunia penglihatan manusia terutama terdiri dari warna, bentuk dan gerak. Sedangkan anjing tidak dapat mengenali warna dan tidak dapat membedakan bentuk sebaik yang dilakukan manusia. Anjing dapat mendengar suara-suara yang tidak dapat didengarkan manusia. Hal tersebut terbukti dengan peluit khusus yang dapat memanggil anjing, tetapi manusia tidak dapat mendengar bunyi peluit tersebut.
Karena itu dalam mempelajari perilaku hewan, sangatlah penting untuk menentukan reseptor apa saja yang dimilikinya dan berapa jauh kepekaannya. Karena itu kita terpaksa bergantung pada alat-alat yang dapat menterjemahkan hal-hal yang tidak dapat dilihat supaya menjadi terlihat.
Misalnya : bunga tampak putih, tetapi bagi lebah warnanya lain. Karena lebah melihat dengan cahaya ultra violet, yaitu cahaya dengan panjang gelombang yang tidak dapat dilihat oleh mata manusia. Karena itu kita dapat melihat dengan mengambil foto dengan film yang peka terhadap gelombang cahaya tersebut.

Etologi klasik merupakan awal dari pendekatan evolusioner terhadap biologi perilaku
Biologi perilaku modern bersumber dari suatu penelitian di lapangan yang dikenal sebagai etologi, dimulai pada tahun 1930-an oleh para naturalis yang mencoba memahami bagaimana berbagai ragam hewan berperilaku dalam habitat alamiahnya. Yang paling terkenal adalah Karl von Frisch, Konrad Lorenz, dan Niko Tinbergen, yang bersama-sama memperoleh hadiah Nobel ada tahun 1973 untuk penemuan mereka (lihat gambar di bawah).
Percobaan Niko Tinbergen pada perilaku penentuan lokasi sarang
pada tawon penggali

Seekor tawon penggali betina menggali dan merawat empat atau lima sarang bawah tanah yang terpisah satu sama lain. Ia akan terbang ke setiap sarang itu setiap hari, membawa makanan ke larva tunggal yang ada pada masing-masing sarang. Ahli biologi Niko Tinbergen merancang suatu percobaan di lapangan untuk menguji hipotesisnya bahwa tawon itu menggunakan petunjuk visual (landmark) untuk melacak di mana sarangnya berada. Pertama, Tinbergen menandai sebuah sarang lebah dengan lingkaran pohon pinus.
Seekor induk tawon itu menguji sarang tersebut dan terbang, Tinbergen memindahkan lingkaran buah pohon pinus itu beberapa meter ke salah satu sisi sarang itu. Ketika tawon itu kembali, ia terbang ke bagian tengah lingkaran buah pohon pinus itu, tidak ke sarang sebelumnya yang ada di sampingnya. Hasil percobaan seperti ini mendukung hipotesis bahwa tawon-tawon tersebut dapat mempelajari petunjuk visual yang baru.

Pada percobaan selanjutnya, Tinbergen mengembalikan kumpulan buah pohon pinus itu ke sarang yang sesungguhnya akan tetapi mengaturnya dalam formasi segi tiga bukan lingkaran. Ia menempatkan sebuah lingkaran batu kesalah satu sisi sarang tersebut. Tawon yang kembali itu terbang ke lingkaran batu, suatu hasil yang mendukung hipotesis bahwa serangga itu telah mendapat petunjuk oleh susunan petunjuk-petunjuk itu, bukan oleh fisik obyek itu sendiri. Dengan demikian, penyebab proksimat perilaku pencarian sarang pada tawon itu adalah petunjuk lingkungan yang diberikan oleh susunan petunjuk dan respon yang ditimbulkan pada hewan tersebut. Untuk kausasi ultimat, suatu hipotesis yang masuk akal adalah bahwa kelestarian hidup tawon itu ditingkatkan oleh kemampuan betina untuk menyimpan informasi mengenai sarangnya dan untuk menggunakan informasi tersebut untuk menemukan dan merawat sarang-sarangnya.

Pertanyaan bagaimana hewan dapat melakukan banyak perilaku tanpa pernah melihat perilaku tersebut dilakukan oleh individu lainnya merupakan salah satu topik utama penelitian ekologis awal. Para ahli etologi memfokuskan pada mekanisme proksimat, tetapi dengan mengarah pada hubungan genetik dengan perilaku serta dengan ciri adaptif perilaku tersebut, suatu orientasi yang membantu menghubungkan biologi perilaku dengan evolusi dan ekologi.


Ekologi perilaku menekankan hipotesis evolusioner: sains sebagai proses
Evolusi merupakan tema inti biologi, dan sekarang kajian perilaku dalam suatu konteks ekologi menekankan penjelasan evolusioner (ultimat). Karena seleksi alam bekerja pada variasi genetik yang sangat besar jumlahnya, yang dibentuk oleh mutasi dan rekombinasi, kita berharap organisme memiliki sifat-sifat yang akan memaksimalkan perwujudan genetiknya dalam generasi yang akan datang. Jika diterapkan pada perilaku, konsep ini berarti bahwa kita mengharapkan hewan berperilaku dengan cara-cara yang memaksimalkan kelestaian hidupnya. Contohnya perilaku makan sangat mungkin mengoptimalkan perolehan energi, dan pilihan pasangan kawin yang sehat cenderung memaksimalkan jumlah keturunan yang sehat.

Kicauan burung berkicau
Secara sepintas kicauan burung sama suaranya, tetapi dengan mudah dapat dibedakan ketika dianalisis dengan suatu spektograf (lihat gambar di bawah).

Kicauan burung

Tiga sonogram atau voiceprint menunjukkan grafik frekuensi suara (yang dipersepsi sebagai nada tinggi) terhadap waktu. Yang ditunjukkan disini adalah empat jenis kicauan yang berbeda dari satu jantan cowbird berkepala cokelat. Kicauan pada (a) sangat berbeda dan dengan mudah dibedakan dari tiga kicuan yang lain, yang akan terdengar mirip oleh kita, tetapi kemungkinan tidak demikian bagi burung. Individu cowbird umumnya memiliki tiga sampai enam jenis kicauan, akan tetapi spesies lain mamiliki lusinan atau bahkan ratusan jenis.

Suatu kicauan dapat meningkatkan kelestarian hidup, karena kicauan membuat burung jantan yang lebih tua dan yang lebih berpengalaman menjadi lebih menarik bagi burung betina (lihat gambar dibawah).


Burung berkicau (warbler) betina lebih memilih jantan
dengan jenis kicauan yang banyak.

Sedgewarbler jantan dengan jenis kicauan yang lebih banyak menarik burung betina, untuk berpasangan lebih awal dan juga lebih sering pada musim kawin, dibandingkan dengan burung jantan yang kicauannya lebih sedikit. Dengan demikian, adalah mungkin bahwa burung betina lebih memilih kicauan yang lebih banyak. Burung jantan dengan kicauan yang lebih banyak menguntungkan untuk berpasangan lebih awal karena perkawinan lebih awal cenderung lebih berhasil dibandingkan dengan perkawinan pada akhir musim.



BIOLOGI PERILAKU

Pengantar Perilaku dan Ekologi Perilaku

1. Perilaku dihasilkan oleh gen dan faktor-faktor lingkungan
2. Perilaku bawaan bersifat tetap dari sisi perkembangan
3. Etologi klasik merupakan awal dari pendekatan evolusioner terhadap biologi perilaku
4. Ekologi perilaku menekankan hipotesis evolusiner: sains sebagai proses


Pembelajaran

1. Pembelajaran adalah modifikasi perilaku yang didasarkan pada pengalaman
2. Penanaman (imprinting) adalah pembelajaran yang terbatas pada suatu periode waktu kritis
3. Banyak hewan dapat belajar mengasosiasikan satu stimulus dengan stimulus yang lain
4. Praktek dan latihan dapat menjelaskan dasar utama permainan

Kognisi Hewan

1. Kajian kognisi menghubungakan fungsi sistem saraf dengan perilaku
2. Perpindahan dari suatu tempat ke tempat lain seringkali bergantung pada pengkodean internal hubungan spasial
3. Kajan tentang kesadaran menimbulkan suatu tantangan unik bagi saintis

Perilaku Sosial Dan Sosiologi

1. Sosiobiologi menempatkan perilaku sosial dalam suatu konteks evolusioner
2. Perilaku sosial kompetitif seringkali menggambarkan pertandingan untuk mendapatkan sumber daya
3. Interaksi sosial bergantung pada cara komunikasi yang beraneka ragam
4. Konsep kelestarian hidup inklusif dapat menjadi penyebab sebagian besar perilaku altruistik
5. Sosiobiologi menghubungkan teori evolusi dengan kebudayan manusia